Berita pasukan Jepang sudah mendarat di Balikpapan sudah diterima
di Samarinda. Asisten Residen VAN AARST, Sebagai wakil dari Gubernur yang
berkedudukan di Banjarmasin.
Pada tanggal 3 Pebruari 1942 , Di pagi hari itu pada bekerja sebagai mana biasa bersama seluruh Staf nya. hanya saja persiapan penyerahan kekuasaan sudah dilakukan.sebuah peta, sebuah berkas dan sebuah tas berisi dokumen-dokumen penting, seikat kunci , seluruh bawahan yang dikumpulkannya dikatakan bahwa mungkin sore nanti tentara Jepang sudah memasuki Samarinda dan mereka harus menunggu kedatangannya itu, dan menyerahkan kekuasaan sebagaimana mestinya sikap sebuah pemerintahan yang kalah terhadap yang menang berperang. bilamana tentara Jepang sungguh-sungguh memegang Undang-undang Internasional, maka mereka akan selamat. Tetapi bila benar militerisme Jepang adalah Fasis, Ya., dan Samarinda akan tau sendiri bagaimana nantinya.

Gambar Kantor pusat Jepang di Samarinda tahun 1945
Memang benar pasukan yang menyerbu itu sudah ada dikota pada sekitar jam 15.00. Barisan depannya yang terdiri dari kira-kira 1 peleton langsung menduduki kantor Asisten Residen dan menaikan bendera bergambarkan bulat merah diatas dasar putih, dimuka kantor itu. perlengkapan komunikasi disiapkan dan ditugaskan. segalanya berjalan tertib dan lancar.
Sementara itu Asisten Residen turun menemui komandan pasukan itu dan membawanya memasuki kantor, prajurit selebihnya mengumpulkan seluruh pengawal kantor dan disuruh duduk diatas rumput kantor. tidak ada seorangpun yang boleh meninggalkan tempat itu. kurang lebih setengah jam kemudian, Asiaten residen dan komandan tersebut keluar dari kantor yang kemudian digiring sebagai seorang tawanan kerumahnya yang terletak berdampingan dengan kantornya. menjelang senja baru para pegawai itu diperbolehkan bubar, sesudah dilucuti semua barang berharga yang ada ketika itu. ketika mereka berkumpul dilapangan rumput itu, penduduk kampung Samarinda berkumpul dipingir jalan menyaksikan tontonan yang baru, pertama kali mereka lihat, ada yang bersila, jongkok sambil berbisik-bisik. para prajurit pendek (tentara jepang) dengan senapan panjang mengelilingi mereka yang pucat pasi itu, sebagian karena lapar dan haus dan sebahagian lagi takut dan khawatir.
Para penduduk kampung yang menonton tadi rata-rata mereka bersenang hati karena tidak ada lagi tuan Belanda yang menguasai mereka , dan mereka ada yang sambil berteriak mengucapkan kata “BARU TAHU PEGAWAI BELANDA” dan malahan diantara mereka ada yang membacakan sholawat karena sangat gembiranya.

Gambar : Tentara Jepang yang bertugas di Samarinda
Saat itu datanglah seorang kepala kampung yang sedang mengiring penduduknya karena baru saja mebunuh seseorang dikampungnya. Maksut kedatangannya ke Samarinda adalah untuk melapor peristiwa itu kepada pegawai Belanda, tapi yang terlihat suasanan sudah berubah, maka langsung saja di melapor kepada “Cap bintang” yang jaga, setelah diurus segala sesuatunya, akhirnya diputuskan supaya kembali besok pagi ketempat itu, sekaligus kepada orang kampung diumumkan bahwa besok akan ada pembagian beras gratis. Keesokan harinya rakyat berkerumun karena akan ada pembagian beras gratis oleh Jepang, setelah menunggu-nungu dengan tidak sabar dengan karung beras dan gula ditangan, ketika itulah si pembunuh yang diserahkan kepala kampung kemaren digiring dengan tangan diikat tali menuju Jembatan dipinggir Mahakam. orang yang malang ini kemudian disuruh duduk berlutut ditepi sungai Mahakam , Seorang tentara Jepang mengeluarkan Samurai dan mencabut dari sarungnya kemudian diletakan dileher orang itu lalu di injak dan tercebur ke sungai, darah segar muncrat dari luka, air disekitarnya memerah pula. semua orang yang melihat peristiwa itu ada yang memalingkan kepala ada pula yg menutupi wajah dengan tangan ketika melihat samurai menyambar turun, saat itu pula baru rakyat mengetahui bahwa hukuman yang diterima saudaranya itu. sesudah selesai yang entah timbul, entah tengelam tadi ,disuruh mengaparkannya kembali, maka manusia yang berkumpul ramai tadi ingin mendapatkan beras dan gula gratis itu disuruh bubar oleh Jepang. Kini taulah penduduk bahawa Fasisme Jepang lebuh ganas dan berbahaya dari pada Belanda penjajah.Tidak ada lagi serapah dan tidak ada lagi sholawat terhadap Belanda pada waktu itu.
DIBAWAH PEMERINTAHAN MILITERISME JEPANG
Pada mulanya rakyat mengira bahwa penjajahan dibawah sesama bangsa asia ini akan lebih makmur dan lebih baik, ternyata justru kebalikannya’ ibarat lolos dari mulut buaya masuk kemulut harimau.
Orang-orang Belanda saat itu ditawan dan dibunuh seperti Asisten residen dan Controleur , bekas Landwacht’ Milisi dan lain-lainnya ditawan dan dipukuli sebelum dibebaskan. Rakyat di ajari adab sopan santun yaitu apabila berpapasan jalan atau melewati gardu jaga ” HEITAI SAN ” ( Tuan serdadu ), tanpa membungkukan badan tanda menghormat maka akan dihadiahi Tempeleng atau tendangan.
Anak-anak gadis dan wanita pada umumnya hidup didalam ke khawatiran di Perkosa, kebiadaban merajarela dan pasukan berani mati Imperialisme Asia yang tidak kepalang tanggung. namun apa hendak dikata, rakyat harus menelan inibeberapa tahun lagi sebelum merasakan ketentraman sesungguhnya.
Orang-orang Tionghoa di samarinda tidak luput dari ancaman mereka, malahan akan lebih hebat penderitaannya seandainya saja mereka tidak mengaku menjadi anggota ” WANG CHING WEI ” yaitu golongan Pro Jepang di Tiongkok. Dengan demikian maka mereka terpaksa menaikan bendera Nasionalis dengan kain sepotong kain di atasnya, yang bertuliskan huruf Tionghoa, dengan demikian mereka terlindungi dan ganguan rongrongan pihak Jepang.
Penyusun Cerita : EDY YAN
Komunitas : Jelajah-History of Samarinda
History Of Samarinda
Sejarah Samarinda
Pada tanggal 3 Pebruari 1942 , Di pagi hari itu pada bekerja sebagai mana biasa bersama seluruh Staf nya. hanya saja persiapan penyerahan kekuasaan sudah dilakukan.sebuah peta, sebuah berkas dan sebuah tas berisi dokumen-dokumen penting, seikat kunci , seluruh bawahan yang dikumpulkannya dikatakan bahwa mungkin sore nanti tentara Jepang sudah memasuki Samarinda dan mereka harus menunggu kedatangannya itu, dan menyerahkan kekuasaan sebagaimana mestinya sikap sebuah pemerintahan yang kalah terhadap yang menang berperang. bilamana tentara Jepang sungguh-sungguh memegang Undang-undang Internasional, maka mereka akan selamat. Tetapi bila benar militerisme Jepang adalah Fasis, Ya., dan Samarinda akan tau sendiri bagaimana nantinya.

Gambar Kantor pusat Jepang di Samarinda tahun 1945
Memang benar pasukan yang menyerbu itu sudah ada dikota pada sekitar jam 15.00. Barisan depannya yang terdiri dari kira-kira 1 peleton langsung menduduki kantor Asisten Residen dan menaikan bendera bergambarkan bulat merah diatas dasar putih, dimuka kantor itu. perlengkapan komunikasi disiapkan dan ditugaskan. segalanya berjalan tertib dan lancar.
Sementara itu Asisten Residen turun menemui komandan pasukan itu dan membawanya memasuki kantor, prajurit selebihnya mengumpulkan seluruh pengawal kantor dan disuruh duduk diatas rumput kantor. tidak ada seorangpun yang boleh meninggalkan tempat itu. kurang lebih setengah jam kemudian, Asiaten residen dan komandan tersebut keluar dari kantor yang kemudian digiring sebagai seorang tawanan kerumahnya yang terletak berdampingan dengan kantornya. menjelang senja baru para pegawai itu diperbolehkan bubar, sesudah dilucuti semua barang berharga yang ada ketika itu. ketika mereka berkumpul dilapangan rumput itu, penduduk kampung Samarinda berkumpul dipingir jalan menyaksikan tontonan yang baru, pertama kali mereka lihat, ada yang bersila, jongkok sambil berbisik-bisik. para prajurit pendek (tentara jepang) dengan senapan panjang mengelilingi mereka yang pucat pasi itu, sebagian karena lapar dan haus dan sebahagian lagi takut dan khawatir.
Para penduduk kampung yang menonton tadi rata-rata mereka bersenang hati karena tidak ada lagi tuan Belanda yang menguasai mereka , dan mereka ada yang sambil berteriak mengucapkan kata “BARU TAHU PEGAWAI BELANDA” dan malahan diantara mereka ada yang membacakan sholawat karena sangat gembiranya.

Gambar : Tentara Jepang yang bertugas di Samarinda
Saat itu datanglah seorang kepala kampung yang sedang mengiring penduduknya karena baru saja mebunuh seseorang dikampungnya. Maksut kedatangannya ke Samarinda adalah untuk melapor peristiwa itu kepada pegawai Belanda, tapi yang terlihat suasanan sudah berubah, maka langsung saja di melapor kepada “Cap bintang” yang jaga, setelah diurus segala sesuatunya, akhirnya diputuskan supaya kembali besok pagi ketempat itu, sekaligus kepada orang kampung diumumkan bahwa besok akan ada pembagian beras gratis. Keesokan harinya rakyat berkerumun karena akan ada pembagian beras gratis oleh Jepang, setelah menunggu-nungu dengan tidak sabar dengan karung beras dan gula ditangan, ketika itulah si pembunuh yang diserahkan kepala kampung kemaren digiring dengan tangan diikat tali menuju Jembatan dipinggir Mahakam. orang yang malang ini kemudian disuruh duduk berlutut ditepi sungai Mahakam , Seorang tentara Jepang mengeluarkan Samurai dan mencabut dari sarungnya kemudian diletakan dileher orang itu lalu di injak dan tercebur ke sungai, darah segar muncrat dari luka, air disekitarnya memerah pula. semua orang yang melihat peristiwa itu ada yang memalingkan kepala ada pula yg menutupi wajah dengan tangan ketika melihat samurai menyambar turun, saat itu pula baru rakyat mengetahui bahwa hukuman yang diterima saudaranya itu. sesudah selesai yang entah timbul, entah tengelam tadi ,disuruh mengaparkannya kembali, maka manusia yang berkumpul ramai tadi ingin mendapatkan beras dan gula gratis itu disuruh bubar oleh Jepang. Kini taulah penduduk bahawa Fasisme Jepang lebuh ganas dan berbahaya dari pada Belanda penjajah.Tidak ada lagi serapah dan tidak ada lagi sholawat terhadap Belanda pada waktu itu.
Gambar Ilustrasi
DIBAWAH PEMERINTAHAN MILITERISME JEPANG
Pada mulanya rakyat mengira bahwa penjajahan dibawah sesama bangsa asia ini akan lebih makmur dan lebih baik, ternyata justru kebalikannya’ ibarat lolos dari mulut buaya masuk kemulut harimau.
Orang-orang Belanda saat itu ditawan dan dibunuh seperti Asisten residen dan Controleur , bekas Landwacht’ Milisi dan lain-lainnya ditawan dan dipukuli sebelum dibebaskan. Rakyat di ajari adab sopan santun yaitu apabila berpapasan jalan atau melewati gardu jaga ” HEITAI SAN ” ( Tuan serdadu ), tanpa membungkukan badan tanda menghormat maka akan dihadiahi Tempeleng atau tendangan.
Anak-anak gadis dan wanita pada umumnya hidup didalam ke khawatiran di Perkosa, kebiadaban merajarela dan pasukan berani mati Imperialisme Asia yang tidak kepalang tanggung. namun apa hendak dikata, rakyat harus menelan inibeberapa tahun lagi sebelum merasakan ketentraman sesungguhnya.
Orang-orang Tionghoa di samarinda tidak luput dari ancaman mereka, malahan akan lebih hebat penderitaannya seandainya saja mereka tidak mengaku menjadi anggota ” WANG CHING WEI ” yaitu golongan Pro Jepang di Tiongkok. Dengan demikian maka mereka terpaksa menaikan bendera Nasionalis dengan kain sepotong kain di atasnya, yang bertuliskan huruf Tionghoa, dengan demikian mereka terlindungi dan ganguan rongrongan pihak Jepang.
Sekian
Komunitas : Jelajah-History of Samarinda
- Sumber Data :
- WAHEL TANTAWI , beliau adalah ex Komandan pasukan BRIGADE XVI , BATALYON G , pernah juga menjadi Komisi umum ( Komandan Teritorial ) daerah Kalimantan Timur , merangkap Komandan kesatuan ALRI DIVISI IV Kalimantan Timur.
History Of Samarinda
Sejarah Samarinda
Komentar
Posting Komentar